November 25, 2009

Chapter 4


W

aktu terus bergulir tanpa toleransi, mengekang manusia untuk tetap berjalan bersama tanpa bisa kembali ke masa lalu. Banyak hal yang mungkin disesali oleh beberapa orang di dunia ini. Hal-hal yang diyakininya seharusnya dilakukan atau mungkin tidak dirasakannya. Semua bisu, semua diam, semua kebutaan, semua yang tak terdengar, dipendam rapat dalam hati seorang remaja ceria bernama Fania, yang kini sedang termenung lesu di halaman belakang rumah tua besar yang tingginya menjulang hampir menyamai pohon cemara yang telah tumbuh hampir belasan tahun di tanah halaman rumah tersebut.

Fania berusia delapan tahun sepuluh tahun yang lalu telah menjelma menjadi seorang belia cantik di balik pepohonan hutan tropis yang menemani setiap hari dalam hidupnya. Rambut bergelombangnya kini semakin panjang melewati bahunya. tubuhnya kini tidak pendek seperti dulu, ia tumbuh tinggi semampai dengan keelokkan seorang wanita muda yang cantik. Walaupun tangan dan kakinya tak semulus gadis-gadis kota metropolitan yang hampir setiap harinya dihabiskan di salon untuk mempercantik diri, namun Fania tetap memesona.

Namun, apa semua yang ia miliki itu tak sia-sia jika terus disembunyikan di balik rindangnya dedaunan dan hamparan pepohonan nan tinggi menjulang itu? Ia sama sekali tak pernah memikirkan hal itu. Untuk sepuluh tahun ke belakang, ia dihalangi habis-habisan oleh seorang pengurus rumah tua yang merupakan rumah yatim piatu itu untuk mendapatkan sepasang orang tua angkat atau pun hengkang dari sana.

Meskipun tak kan ada pasangan yang bakal rugi menerima si gadis jelita itu. Meskipun setiap mata yang memandangnya akan merasa nyaman dan ingin untuk memilikinya, namun tak ada. Tak ada yang sampai saat ini merangkulnya dan menggiringnya memasuki halaman rumah barunya yang hangat dan penuh cinta. Hal tersebut bukan karena ia tak menginginkannya, namun kejahatan seorang Ibu Meri yang licik dan dipenuhi oleh akal itu yang membuatnya terjebak selama sepuluh tahun di rumah tua itu.

Entah mengapa dan apa hal yang membuat Ibu Meri sedemikian iri dan ingin membuat gadis ini menderita dari pertama kalinya si gadis kecil menginjakkan kaki mungilnya di rumah tua itu sepuluh tahun yang lalu. Untungnya, tak sepenuhnya penghuni dewasa di rumah tua itu membencinya, ada seorang malaikat cantik yang senantiasa berusaha untuk melindunginya, Ibu Jasmine.

Ibu Meri tak membiarkan Fania, si gadis cantik itu pergi melangkah ke mana pun menjauh dari rumah tua itu. Entah mengapa, itulah yang kini direnungkan oleh si gadis muda tersebut yang duduk rapi di atas sebuah ayunan tua yang kian melapuk dari hari ke hari. Usianya kini sudah tak lagi dapat dikatakan anak kecil lagi, dan ia ingin sekali segera meninggalkan rumah yatim piatu itu.

Bukan kesombongan yang membuatnya ingin meninggalkan rumah tua, jelek dan bobrok itu. Tapi karena ia sudah terlalu malu menjadi anak asuhan rumah yatim piatu yang hampir seluruh anak asuhnya berusia jauh di bawahnya. Mungkin, Pak Arya tidak keberatan membiayai tambahan kepala di rumah itu, terutama karena Fania memang merupakan salah satu anak kesayangannya. Namun anehnya, jika Fania memang anak kesayangan Pak Arya, mengapa beliau tak mengangkatnya saja menjadi anaknya?

Fania terus berpikir, ada apa di balik hutan tropis yang lebat ini? Ia tak habis pikir, mengapa rumah yatim piatu yang ia tempati harus berada di balik hutan tropis yang liar. Bila malam hari datang, seluruh penghuni rumah harus berada di balik rumah tua itu dan tak boleh keluar. Seluruh pintu dan jendela ditutup. Penerangan pun dinyalakan seperlunya saja. Hal tersebut untuk menghindari serangan dari binatang buas yang pernah terjadi di masa lalu.

Kejadian mengerikan, pernah terjadi di rumah tua itu berpuluh-puluh tahun yang lalu. Seorang wanita muda yang malang. Ia merupakan satu dari pengasuh yang dimiliki rumah yatim piatu tersebut. Malamnya, ia menghilang entah ke mana. Dan paginya, ia ditemukan terkapar di dekat sumur di halaman belakang dalam keadaan yang sangat buruk. Tubuhnya seperti dikoyak cakar besar yang membuatnya mati kehabisan darah. Koyakan besar, yang cukup membuatnya berteriak sangat keras, namun anehnya, tak ada yang mendengar teriakan apa pun malam itu.

Cerita tersebut masih menjadi misteri, namun itulah yang diceritakan pada seluruh penghuni rumah tersebut, dari generasi ke generasi. Karena itu, sumur baru langsung di buat di dalam rumah. Dan rumah besar itu kini telah dilindungi oleh tembok setinggi sekitar tiga meter yang melingkar mengelilingi bangunan rumah tua tersebut. Terdengar mengerikan memang, dan setiap orang yang melihatnya dari luar tembok, pasti mengira bahwa bangunan yang terdapat di balik tembok tersebut pasti merupakan tahanan penjara bagi orang-orang yang berbahaya. Padahal, di balik tembok tersebut, tersembunyi ceria tawa anak-anak kurang beruntung yang memerlukan hangatnya rumah dan pelukan penuh kasih orang tua.

Kaos oblong dan celana kain berwarna putih gading yang dikenakan Fania mulai tak dapat menahan angin yang berhembus menembusnya dan menyentuh kulitnya. Ia kedingianan, namun ia tak mau juga beranjak pergi menuju kamarnya yang cukup hangat. Nyatanya, kamar tersebut tak dapat dikatakan hangat juga. Di malam gari yang dingin, kamarnya itu hanya menyediakan sehelai kain lebar yang mirip kain batik yang panjangnya tak sampai dapat menutupi tubuh Fania lagi yang kini telah meninggi. Jadi, ia putuskan untuk tidak pergi kembali dulu ke kamarnya. Toh sama saja, dirinya akan kedinginan baik di dalam maupun di luar kamar.

Langit sore itu terus ia amati, dengan kenikmatan tersendiri yang membuat hatinya sedikit terhibur di tengah-tengah kondisinya yang tidak menentu, kembali ia melihat burung-burung yang terbang berkeliaran dalam satu kelompok. Pasti mereka sudah mau pulang, memberikan makanan kepada anak-anaknya, pikirnya. Rasa iri meluncur menuju hatinya yang paling dalam. Jika ia menjadi salah satu anak burung tersebut, mungkin suasana hatinya akan jauh lebih baik daripada apa yang dirasakannya kini.

Lembutnya angin yang mengayunkan setiap dedaunan yang melekat di ranting-ranting pohon yang diikat tali ayunan terasa begitu nyaman, meninabobokan kepala Fania yang berat oleh pikirannya yang kacau dan berlarian ke sana ke mari. Ia merasa sangat nyaman. Nyaman sekali. Dan entah mengapa, ia tak ingin beranjak pergi walaupun ia tahu, matahari sore itu akan segera tenggelam meninggalkannya sendiri, tertidur di bawah langit yang mulai gelap.

***

Dilihatnya sekeliling, matahari sudah tidak menemaninya lagi. Begitu pun dengan suara-suara merdu burung-burung yang tadinya melintasi langit yang cerah. Sekarang yang dirasakannya hanya rasa dingin, dan bunyi keras seperti besi-besi bertabrakkan yang berasal dari luar tembok. Sebenarnya, apa yang terjadi. Ia kebingungan, sangat bingung. Dilihatnya pintu rumah dan seluruh jendela telah tertutup. Ia sendirian di luar sana, di tengah-tengah hutan yang sangat asing baginya.

Fania lalu memberanikan diri menuju rumah. Apa yang harus dilakukannya? Mengetuk pintu dan mendapatkan ceramah dari Ibu Meri? Atau diam semalaman di teras dingin yang menakutkan? Gelap sekali… ia tak pernah membayangkan gelapnya malam di luar rumah bisa semenakutkan ini. Rasa penasaran memang sangat diperlukan dan harus dimiliki. Namun saat ini, Fania benar-benar menyesal pernah merasakan rasa penasaran itu saat berada di balik selimut kain percaknya saat malam-malam sebelumnya dan ia bertanya pada dirinya sendiri, apa yang ada di luar sana? Seperti apa rasanya?

Kini, ia rela menukar seluruh harta bendanya untuk dapat kembali ke balik tembok rumah tersebut. Tapi sayangnya, sekalipun ada yang memberikan tawaran itu padanya, ia tak akan dapat memberikannya apa pun, karena ia memang tak memiliki apa pun.

Meskipun takut Ibu Meri bakal memarahinya, Fania memberanikan diri untuk mengetuk salah satu dari dua pintu yang berdiri bersama menutupi rumah besar itu dengan sangat kokoh. Ketukan pertama, tidak berhasil, lalu kemudian Fania mengetuk kembali, tapi sama saja, tidak berhasil. Apa yang terjadi? Mengapa tidak ada satu orang pun yang mendengar ketukan pintunya?

Apa sebenarnya yang terjadi? Apa rumah ini telah ditinggal penghuninya? Lalu, jika iya, mengapa mereka tega meninggalkannya sendiri. Panik, Fania lalu bergegas mengelilingi rumah, mencari cahaya kamar yang masih menyala. Tapi alangkah kagetnya Fania, saat ia melintasi bagian kanan rumah besar itu, yang dilihatnya hanya kegelapan. Ia tak dapat melihat apa pun ke dalam. Apa mungkin mereka semua sudah pergi?

“Tidak mungkin!” gumam Fania dalam kepanikkannya. Samar-samar, ia mendengar derap langkah kaki dan bisikan dua orang yang terdengar sedang bercakap-cakap. Satu suara wanita dan satu suara pria. Dahi Fania mengerut heran, tak ada pria di rumah tersebut. Suara wanita tersebut, ia yakini sebagai suara Ibu Meri.

Ia mungkin sangat membenci Ibu Meri, karena dia, Fania tak dapat meninggalkan rumah tua itu. Tapi entah mengapa, saat itu, ia rela untuk selamanya tinggal di rumah tersebut demi untuk bertemu dengan Ibu Meri, atau mungkin rela mendengar setiap cercaan dan caci makinya sekali pun.

Segera, Fania mendekati sumber suara yang berasal dari halaman belakang rumah tersebut. Matanya kini mulai beradaptasi dengan kegelapan tersebut, langkahnya semakin mantap sekarang. Namun langkah Fania langsung terhenti saat ia hampir menikung membelokkan tubuhnya yang kecil itu untuk memeluk tubuh besar gempal milik Ibu Meri. Tubuhnya terhenti oleh sebuah tangan yang mendekap mulutnya dan sebuah tangan lagi menarik perutnya membuat tubuhnya merapat ke tubuh si pemilik sepasang tangan tersebut.

Fania berontak sekuat tenaga, tapi sayangnya, kedua tangan tersebut tampaknya lebih kuat daripada dirinya. “Ini aku, Fania. Diamlah.” Perintah suara yang berbisik di telinganya. Dan betapa terkejutnya ia saat mendengar suara yang dimiliki Ibu Jasmine tersebut.

Tubuh Fania langsung menerima perintah diam tersebut. Tubuhnya juga langsung berbalik untuk meyakinkan dirinya bahwa orang yang menahannya adalah benar Ibu Jasmine. Dan saat perlahan ia membalikkan tubuhnya, ia memang menemukan sosok kesayangannya di sana, Ibu Jasmine yang sedang terengah-engah karena kecapean menahan rontaan tubuh Fania.

“Kau kuat sekali, Fania.” Gumam Ibu Jasmine dengan senyuman jenakanya.

Ibu Jasmine kemudian langsung menempelkan telunjuknya di bibirnya, menyuruh Fania untuk diam dan menyimak perbincangan antara suara yang diyakininya sebagai Ibu Meri dan suara pria asing yang tak pernah Fania dengar sebelumnya. Kini, saat keduanya diam, mereka dapat mendengarkan perbincangan yang cukup pelan itumereka terdengar cenderung berbisik dan banyak menoleh ke kanan ke kiri—dengan lebih jelas.

“Kau harus segera melenyapkannya, Mom. Aku tak ingin direpotkan lagi dengan rutinitas kalian selama bertahun-tahun ini. Aku kini benar-benar muak dan cape!!” teriaknya terdengar sangat marah. “Kau tahu? Mengatur teman-temanku dan istrinya untuk menjadi orang tua asuh bohong-bohongan yang datang seolah mengadopsi anak-anak tak berguna itu! Padahal, mereka sama sekali tak beranjak dari tempat tidurnya sedikit pun. Mereka kini pasti sedang meringkuk di atas tempat tidurnya masing-masing kini!!! Bodoh sekali!!!” bisiknya yang terdengar semakin menaikkan oktafnya sedikit demi sedikit di setiap perkataannya.

Fania yang mendengarkan hal tersebut hampir mengucapkan sesuatu untuk bertanya pada Ibu Jasmine sebelum ia langsung menempelkan kembali telunjuknya ke bibirnya dan memberi tanda ‘nanti’ pada Fania. Pertanyaan dan pertanyaan langsung menghinggapi kepala Fania, apa sebenarnya yang dibicarakan oleh pria itu tadi?! Anak-anak yang pura-pura diadopsi? Itu tidak masuk akal! Bukankah beberapa dari mereka setiap tahunnya diambil untuk diadopsi?

Tapi, mungkin saja. Ya! Ini mungkin saja terjadi. Entah mengapa, setelah enam bulan pertama dirinya menghuni rumah tua tersebut, ia tak diberi kesempatan untuk berteman. Alhasil, membuatnya seolah tak memiliki teman. Selalu dan selalu ia dihukum oleh Ibu Meri dengan berbagai alasan yang dibuat-buat selama sepuluh tahun ini saat waktu berkumpul atau waktu makan. Dan yang selalu menemaninya makan adalah Ibu Jasmine, karena itulah ia tidak pernah dapat mengenal dan berteman kembali dengan anak-anak yang lainnya.

Tapi, jika anak-anak itu sebenarnya tak pernah diadopsi, mengapa tak ada satu orang pun dari mereka yang seusia dengannya. Ia memang tak pernah bermain dengan mereka selama ini, dan lagi-lagi hal itu karena ia selalu disuruh untuk bekerja oleh Ibu Meri layaknya pelayan pribadinya selama ini.

“Terserah sajalah! Jika itu merupakan perintah langsung dari atasan, aku tak akan pernah keberatan untuk melaksanakannya.” Ucap suara Ibu Meri yang diselai tawa kecil saat ia bicara. “Lagipula, aku tak terlalu menyukainya.”

Tubuh Fania kembali dikejutkan oleh tangan Ibu Jasmine. Ia menarik lengan kecil milik Fania itu menjauh dari sumber suara menuju kumpulan pepohonan yang berada di samping rumah. Keringat dingin langsung mengucur deras dari kening kedua wanita tersebut. Mereka sama-sama ketakutan dengan pikirannya masing-masing.

“Ibu Jasmine, kita mau apa?” Tanya Fania yang tak tahu menahu tentang maksud obrolan Ibu Meri dan pria misterius itu secara jelas.

“Diam dan ikuti saja aku. Hanya aku kini yang harus kau percaya, mengerti?!” ucap Ibu Jasmine dengan nada yang sangat tegas, lain sekali dengan Ibu Jasmine yang biasanya selalu bicara dengan nada riang dan lembut. Kini, Fania benar-benar ketakutan. Jelas sekali apa yang terlintas dari raut wajah Ibu Jasmine, ia terlihat sangat serius dan ketakutan.

Setelah berjalan cukup jauh memasuki kumpulan pepohonan, ia melepaskan genggamannya dari lengan Fania untuk mencari sesuatu di tanah. Setelah menemukannya, ia lalu menarik semacam pegangan pintu yang terbuat dari logam berbentuk bulat yang tampaknya tertempel pada sebilang papan besar dengan daun-daun yang berserakan di permukaannya.

“Bantu aku.” Ucap Ibu Jasmine pada Fania yang kemudian langsung membantunya menarik bulatan logam tersebut.

Dua orang yang menariknya ternyata merupakan upaya yang sangat efektif dalam mendobrak pertahanan papan kayu yang tertimbun tersebut. Mereka akhirnya berhasil mengangkat sebilah papan besar yang menutupi jalan gelap menuju ke bawah tanah.

“Ayo!” ucap Ibu Jasmine yang mengeluarkan sebuah senter dari saku dress-nya yang longgar. Mereka lalu berjalan menelusuri satu demi satu anak tangga menuju ke bawah tanah setelah menutup kembali pintu di atasnya.

“Ibu, ada apa ini?” Tanya Fania kembali, dan kembali, tak ada jawaban. “Aku mohon, Bu. Setidaknya, katakanlah sesuatu! Jangan membuatku ketakutan dan kebingungan seperti ini. Aku mohon!!!” paksa Fania yang berjalan tepat di belakang Ibu Jasmine.

Mereka kini berjalan menelusuri gang, entah akan pergi ke mana mereka, Fania tidak tahu. Haruskah ia percaya padanya? Entahlah. Yang jelas, terdapat perasaan yang menarik sedemikian kuat dari dalam dirinya untuk mempercayai wanita yang entah mengapa selalu diyakininya tak pernah menua itu.

Ibu Jasmine lalu berhenti di tengah jalan, ia kemudian membalikkan tubuhnya secara tiba-tiba dan langsung memeluk tubuh mungil yang lebih tinggi dari dirinya itu dengan erat. “Dengarkan aku, Fania. Kali ini kau harus pergi. Pergi jauh sekali dari tempat ini.” Ucapnya dengan mimik paling serius yang pernah Fania lihat dari wanita itu.

“Kenapa?” Tanya Fania yang tak dapat lagi membendung setiap pertanyaan yang melintasi kepalanya.

“Tak ada waktu untuk menjelaskan, tapi ada beberapa hal yang perlu kau tahu. Dan kau harus mendengarkannya dan mengingatnya baik-baik.” Ucap Bu Jasmine disertai anggukan kecil penuh kebingungan dari gadis kecil kesayangannya itu. “Dengarkan aku, tempat kita berada kini, adalah tempat yang sangat jauh dari tempat yang akan kau tuju nanti. Dan kau harus pergi ke sana. Ke tempat di mana kau harus memperlihatkan kebenaran pada dunia.”

“Apa maksudmu?” pertanyaan itu tak dihiraukan Ibu Jasmine. Ia lalu melanjutkan ucapannya.

“Kita, kini berada di tahun 1000 SM.” Belum juga Bu Jasmine menyelesaikan penjelasannya, Fania langsung menyelanya. Namun Bu Jasmine tidak peduli dengan pertanyaan kenapa? Bagaimana bisa? Atau perkataan, itu tidak mungkin.

“Ayahmu adalah Profesor Anggono Prabudiharjo. Cari dia, aku mohon. Cuma itu yang perlu kau tahu. Waktu kita mendesak.”

“Ayah? Ayahku masih hidup?” sela Fania.

“Aku tidak yakin, tapi tak ada salahnya kau untuk mencarinya, mengerti?!” ucap Ibu Jasmine. Fania mengangguk pasti untuk permintaan Ibu Jasmine yang satu itu.

“Waktumu terbatas,” Ibu Jasmine menatapnya pedih seolah mereka tak akan mungkin dapat bertemu kembali. “kau mungkin akan sangat membenciku. Tapi aku tak punya pilihan Fania….”

“A—apa maksudmu, Bu? Aku tak mengerti.” Ucap Fania tak pernah merasa sebingung dan setakut itu. Seolah rangkaian otaknya gagal tersambung dengan benar, ia sama sekali tak dapat memahami sepenuhnya setiap kejadian dan perkataan orang-orang yang ada di sekitarnya malam itu.

“Kau—kau hanya punya empat bulan. Kau mengerti aku, Fania. Aku minta maaf, semua ini salahku dan ayahmu.” Isak tangis hampir menenggelamkan suaranya yang kecil, namun Fania masih bisa mendengarnya.

“Apa maksudmu, Bu? Aku sama sekali tak mengerti. Toloooong, jelaskan.” Ucap Fania yang disambut gelengan dan pelukan paling erat dari Ibu Jasmine. Pelukan yang hampir membuatnya tak dapat bernapas, namun Fania balas memeluk dan perasaan mengerikan memenuhi dadanya. Pikiran yang sangat mengerikan menyelimuti kepalanya. Namun ia tak pernah merasakan hal itu—perasaan akan berpisah dan seolah tak akan pernah bertemu lagi dengan orang yang paling dikasihinya itu.

“Kau harus segera pergi, jangan sampai mereka menemukanmu.” Ucap Ibu Jasmine yang telah melepaskan pelukan eratnya itu.

“Kalau mereka menemukanku?” sela Fania, lagi.

Ibu Jasmine terhenti setelah berjalan beberapa langkah dari tempatnya semula berdiri dan memberikan Fania wejangan yang dianggapnya perlu saja. “Kau akan dibunuh.” Ucapnya lebih terdengar seperti bisikan.

“Ke—kenapa? Apa salahku?” ucap Fania yang langsung terhenti kembali dari langkahnya.

“Gadis bodoh!” teriak Bu Jasmine yang hampir menangis, matanya kini berkaca-kaca dan Fania dapat melihatnya samara-samar dari cahaya yang dibaurkan senter yang terarah ke tubuhnya yang berhadapan dengan Ibu Jasmine. “Apa kau dengar percakapan mereka? Apa kau tahu bahwa kami semua di sini, kecuali kau, tidak tumbuh apalagi menua!”

Seluruh tubuh Fania sontak menegang, apa yang ia bayangkan dan curigakan ternyata benar. Ibu Jasmine yang selalu sama, Ibu Meri yang senantiasa kuat, semua anak yang tak pernah ditunjukkan padanya (kecuali saat enam bulan pertamanya di rumah itu). Jadi, semua itu ternyata benar. Tapi ini tidak mungkin. Ini sama, sama seperti cerita dongeng Peter Pan yang sering dibacanya dari buku yang tersimpan di balik box tuanya.

“Kenapa hanya aku yang tumbuh dan menua? Apa kita ada di tempat seperti Neverland? Tapi, kenapa efeknya tidak mengenaiku?” celoteh asal Fania yang mungkin terdengar menggelikan, tapi tidak satu pun dari dua orang itu yang tertawa. Karena mereka tidak berada di dunia dongeng. Dan bagi mereka yang berada di dunia nyata, kenyataan seperti itu bukan suatu hal yang mengagumkan, tapi mengerikan. Hal tersebut sepenuhnya berada di luar garis kewajaran hakikat hidup seorang manusia.

“Ini semua karena ulah ayahmu. Sudahlah, tak ada waktu untuk menjelaskannya. Kau harus segera pergi dari sini dan temukan jawabannya sendiri di luar sana.” Ucap Ibu Jasmine sambil menarik kencang tangan Fania tanpa memberi kesempatan Fania untuk bertanya lagi.

Sesaat kemudian, mereka sampai di sebuah ruangan luar biasa luas berisi beberapa peralatan berat dengan bau menyengat yang sangat khas. “Bau apa ini?” Tanya Fania yang tak dapat mengekang mulutnya untuk bertanya.

“Minyak.” Jawab Bu Jasmine. Dia lalu menarik Fania ke depan pintu berukuran sangat besar layaknya pintu garasi mobil berwarna coklat tua yang indah. Beberapa ukiran menghiasi permukaannya. Fania sama sekali tak mempunyai tebakan apa pun tentang benda yang ada di hadapannya.

“Dengarkan aku, Fania. Aku hanya bisa mengirimmu ke satu tempat dan satu waktu.” Bu Jasmine diam sejenak lalu meneruskannya. “Aku akan mengirimmu ke waktu di mana kau dapat memperbaiki semua yang terjadi.

Apa maksudmu? Ibu Jasmine, mengapa—mengapa aku sama sekali tak mengingat kenangan apa pun kecuali saat aku berada di sini?” pertanyaan itu lagi, pertanyaan yang sama di setiap Fania mengeluhkan ingatannya yang hanya separuh itu. Dan Ibu Jasmine tak dapat menjawab apa pun. Bukan karena tak tahu, tapi untuk melindungi Fania.

“Ini.” Ucapnya saat memberikan sebuah buku bersampul kertas kecoklatan dan sebuah kalung berliontin nama, sebuah nama yang terasa tak asing baginya, RION. “Fania, mengapa kau tak mengingat apa pun tentang masa lalumu, itu karena….”

Derap langkah kaki yang berasal dari lantai atas mengagetkan kedua wanita tersebut. Ibu jasmine langsung bergegas menjauhkan tubuhnya dari Fania dan mengoprasikan sebuah meja mesin dengan beberapa tombol dengan berbagai warna di atasnya. Lalu ia berteriak sangat kencang untuk menyaingi deru mesin yang menggeram keras sekali pada Fania, “Buka salah satu pintunya!!! Cepat!” teriaknya.

Fania tak dapat berpikir apa yang sebaiknya harus ia lakukan. Tapi ia sepenuhnya percaya pada wanita yang senantiasa ada untuknya itu. Maka dengan keyakinan tersebut, ia menarik pegangan salah satu pintu tersebut dengan sekuat tenaga. Sebuah energi yang sangat besar pun menariknya masuk, sebuah sinar menyilaukan menyakiti matanya dan hal terakhir yang didengarnya adalah kata-kata Ibu Jasmine yang berteriak padanya saat ia membuka pintu tersebut. Ia berteriak, “Aku menyayangimu, Fania!!!!”

Beberapa saat sebelum Fania masuk sepenuhnya ke pusaran energi dasyat itu, ia menolehkan kepalanya dan bergumam, “Bu Jasmine?” Dilihatnya Ibu Meri dan seorang pria muda dengan seragam tentara berjalan menghampirinya, berusaha mematikan mesin dan berteriak juga. Namun kini, teriakkan apa pun tak lagi terdengar.

Pemandangan wajah Ibu Jasmine itu langsung tergantikan oleh pemandangan ruangan kosong besar yang dipenuhi oleh benda-benda berat dan bau yang menyengat seperti ruangan tempatnya berada beberapa saat yang lalu. Bedanya, ia kini berada di atas permukaan bumi dengan sinar matahari yang menembus lubang pentilasi di dinding bagian atas ruangan tersebut.

Fania mungkin sangat kebingungan, namun secepat mungkin, ia langsung membuka pintu tersebut setelah bunyi desing mesin yang terdapat di samping pintu tersebut berhenti berbunyi. Seperti dugaan Fania, ia tak akan ditarik lagi oleh pusaran energi yang membuat hampir seluruh tubuhnya sakit. Melainkan sinar matahari yang sangat cerah dan jalanan lenggang dengan beberapa petak sawah dan beberapa rumah yang berdiri di pinggiran jalanan menyambut kedatangannya dari tahun 1000 SM.

***

No comments:

Post a Comment