October 15, 2009

CHAPTER 2

"Rion, anakku, kau tahu hal yang paling ingin ayah lakukan untuk negeri ini?” si bocah kecil itu menggelengkan kepalanya. Bocah itu sedang asik memainkan mobil-mobilannya. Si bocah berusia delapan tahun itu bahkan mungkin sama sekali tak tertarik dengan apa yang akan dibicarakan ayahnya saat itu.

“Ayah ingin membuat masyarakat Negara ini hidup dalam damai dan bahagia. Dan kau tahu apa yang harus ayah lakukan untuk mencapai semua itu?” Tanya ayahnya lagi, dan lagi-lagi disambut gelengan kepala anak lelaki satu-satunya itu. “Ayah ingin memimpin negera ini agar dapat mewujudkannya jadi nyata.”

Rion kecil seakan mengerti apa yang ayahnya katakan seketika itu, ia lalu melihat punggung ayahnya yang berjalan menuju pintu keluar rumahnya. Rion kecil lalu menjerit, menangis, dan berusaha untuk belari kencang dengan kedua kakinya yang kecil. Namun, ia tak berhasil menghentikan ayahnya yang semakin menjauh meninggalkannya sendirian. Ia menjerit keras, sangat keras… memanggil ayahnya kembali. Tapi, ayahnya seolah tak mendengarnya, ia sama sekali tak menoleh sedikit pun padanya.

Tengorokan Rion terasa tercekat, ia masih bergumam, seolah ingin berteriak namun ia tak sanggup. “Ayah… ayah….” Gumam Rion yang nampak bermimpi buruk. Tubuhnya berkeringat, tidurnya terlihat sangat tidak nyaman, napasnya bergemuruh dan sangat gelisah. Perlahan tangan kanannya ingin meraih sesuatu, mata berwarna abunya terbuka, mengerjap bingung, ia terbangun dengan langit-langit putih bersih yang dilihatnya sekarang.

Mimpi, pikirnya. Rion si putra presiden kini terduduk di tempat tidurnya. Ia menatap ke balik jendela kamarnya yang sengaja tak ditutupi tirai. Menatapnya dengan penuh harap agar ia dapat kembali ke masa itu. Masa di saat ia masih bisa bermain dengan ayahnya. Masa di saat keberadaannya masih dihargai sang ayah.

Rambut hitam pendeknya disapunya ke belakang oleh jemari tangannya. Untuk beberapa saat ia menghembuskan napas dengan berat. Tubuhnya terasa begitu lelah dan ingin segera melanjutkan kembali tidurnya, tapi ia tak kembali tidur. Ia tak ingin kembali ke mimpinya itu dan terbangun di dunia nyata yang tak menyenangkan baginya.

Dalam piyama putihnya, ia berjalan menuju beranda kamarnya yang terletak di lantai dua istana kepresidenan negara. Ia menatap halaman istana yang megah dan indah. Namun sayangnya, perasaan kagum yang dulu ia rasakan saat pertama kali menginjakkan kakinya di istana itu tak lagi dirasakannya. Kini yang ia rasakan hanya kekosongan.

Ia begitu kesepian, dan sepertinya salah satu penghuni istana yang lainnya pun ikut merasakannya juga, dia adalah sang presiden. Bagaimana tidak, setiap orang pasti merasakannya jika ditinggalkan seorang ibu dan istri yang begitu cantik dan baik hati seperti halnya ibunya. Tak ada yang tak kan…. Tak ada.

Pria muda bernama Rionald Abdul Al-Hasyim ini kini telah berusia dua puluh delapan tahun. Seorang pria muda dengan prospek masa depan cerah dan dicintai masyarakatnya. Seorang pria muda dengan berbagai bakat dan keahlian. Walaupun ia masih terbilang masih sangat muda dan belum berkeluarga, ia diyakini masyarakat dan para pengamat politik akan mengikuti jejak ayahnya di pemilihan presiden berikutnya.

Namun sayangnya, ia sama sekali tak mempunyai keinginan untuk meraih jabatan ayahnya tersebut. Menjadi seorang presiden, bukan hal yang diinginkannya saat ini. Setidaknya, tidak setelah apa yang dilihatnya dari sang ayah.

Ayahnya bukanlah presiden yang jahat atau mungkin korupsi, namun jabatan itu dirasakannya telah merenggut ayahnya dari sisinya. Rion menatap bintang-bintang di langit dan menghela napas panjang. Perlahan ia mulai membenci ayahnya, ia benci ayahnya yang tak menepati janji. Ia benci ayahnya yang mencampakkannya. Ia benci ayahnya yang tak berada di sisi ibunya saat ibunya meninggal. Ia benci, benci, sangat benci.

Bunyi getar ponsel menyeretnya kembali ke dunia nyata. Rion berbalik berjalan menuju tempat tidurnya, duduk di pinggirnya dan segera menerima panggilan tak kenal toleransi waktu tersebut.

“Rion, maaf menganggumu.” Suara seorang wanita di ujung sana. “Ayahmu mengirimiku tiket orkestra di Inggris, dan aku pikir, kita harus pergi. Kepak bajumu sekarang, kita berangkat pagi ini.” Ucap si wanita itu terdengar begitu senang.

Rion mendengus kesal dan langsung mematikan hubungan telepon. “Si tua brengsek!” umpat Rion yang hampir melempar ponselnya. Hampir? Ya, hampir. Karena dia mengurungkan niatnya. Ponsel itu merupakan hadiah ulang tahunnya yang ke dua puluh dari ibunya dan selalu bersamanya sampai saat ini. Ponsel jadul memang, namun ia tak peduli. Ia selalu berprinsip yang terpenting adalah fungsi dan kenangan yang tersimpan di dalamnya.

Digenggamnya liontion berukirkan sebuah nama di lehernya, ia mendesah sambil memasukkan kembali kalung berantai cukup panjang tersebut kembali ke balik piyama putihnya. Rion yang malang, ia benar-benar kesal kepada ayahnya. Si ayah yang seenaknya itu—itu menurut Rion, tentunya—telah seenaknya membatalkan janjinya dengan dirinya dan malah melemparkannya pada mulut nenek sihir berbahaya yang bisa saja merenggut keperjakaannya. Ya, itu yang dipikirkan Rion.

Tapi ternyata, kekesalan Rion hanya bertahan sebentar saja, ia langsung menghubungi serangkai nomor. Bunyi tut beraturan langsung terdengar dari ponselnya yang kemudian langsung terputus oleh suara pria yang berkata, “hallo?”

“Chris? It’s me, Rion.” Ucap Rion pada seorang teman lama. Christian Dianugroho, seorang blasteran Inggris Indonesia yang telah memilih Negara Ratu Elizabeth tersebut sebagai negaranya merupakan teman sepemabalan Rion di zaman SMA-nya.

“Rion, is it you? Hey, how are you. It’s been long time not see you. You know…”

“Chris! Ngomongnya pake titik koma gak tuh?! Dasar bule-bule seneng nyerocos ya kalo ngomong?” celetuk Rion memotong basa-basi Chris yang memang sangat merindukan satu teman Indonesianya ini.

“Brengsek loe! Ada apa? Nelpon jam segini? Bukannya jam segini dini hari ya di Indonesia?” Tanya Chris dengan bahasa Indonesianya yang sangat sempurna sampai ke aksennya sekali pun.

“Iya, gara-gara nenek lampir nelpon gwa jam segini nih! Jadi gwa bangun. Brengsek tuh nenek lampir!” umpat Rion sambil melepas kangennya pada teman SMA-nya tersebut.

“Tapi cantik gak nenek lampirnya?” goda Chris yang memang terkenal playboy dari masa SMA-nya sampai sekarang itu.

“Cantik deh…. Tapi gwa gak demen, buat loe aja deh cing….” Ucap Rion dalam logat Betawi.

“Hweeeey… serius?!” Tanya Chris yang sudah terbiasa mendapat lemparan wanita dari temannya yang satu ini. Kadang, Chris berpikir betapa beruntungnya dia punya teman yang gak terlalu menyukai wanita seperti Rion. Tapi sialnya, setiap kali ada wanita Indonesia yang disukainya, mereka malah lebih menyukai Rion. Padahal, Chris yang blasteran ini berani bertaruh, kalau dia lebih menarik daripada Rion yang juga blasteran Indonesia-Prancis itu.

“Gwa kasiiiiih.” Ucap Rion yang disambut teriakkan perayaan rasa syukur di seberang sana. “Loe nyanyi, Cing? Lagu Syukurnya Hs. Mutahar tuh?” Tanya Rion yang mendengar senandung lagu nasionalnya dinyanyikan di Negara berlagu kebangsaan ‘God Save Our Queen’ itu.

“Yo-i, Cing! Itu kan lagu favorit gwa!!!” ucapnya sambil tertawa sangat keras sampai Rion harus menjauhkan ponsel dari telinga kanannya.

“Iya deh, terserah loe. Sebenernya gwa telpon loe mo minta tolong. Berhubung loe udah setuju gwa lemparin si nenek lampir, loe wajib bantuin gwa.” Ucap Rion yang mulai pada inti permasalahan.

“Just ask, then I’ll give you, My Son.” Celetuk Chris dengan gaya bahasa sok berwibawa ala Bapak Orlando.

“Two thumbs up deh buat loe yang sekarang lagi taat!!! Kalo gwa sih denger Pak Haji ceramah sering, tapi kok gak ada yang nempel yah?” Ucap Rion disambut tawa dari kedua belah pihak. “Sekarang, dengerin nih rencana brilian gwa.”

“Alaaaah, paling ujung-ujungnya tar loe dimarahin bokap loe. Terus kabur aja loe ke rumah gua sambil nyanyi lagu God Save Our Queen pake tuh tangan ditaro di dada. Ngakak gila aje deh gwa di sini.” Ledek Chris sambil mengenang kejadian dua tahun yang lalu. Gara-gara kena murka ayahnya—ayahnya marah karena Rion ‘melempar’ seorang gadis anak kenalannya pada Chris—Rion langsung menyebrangi samudera untuk meminta perlindungan diplomatik—diplomatik di sini berarti kerja sama antara individu dari dua Negara yang berbeda—pada temannya itu.

“Kampret loe!!! Nyuruh gwa nyanyiin lagu kebangsaan loe segala. Entar ya… liatin aja kalo loe tar minta perlindungan diplomatik sama gwa. Gwa suruh loe nyanyi….”

“Nyanyi Indonesia Raya? Halah kecil…. Tiap upacara bendera kan dulu sering nyanyi lagu itu. Gwa kan anggota paduan suara ternama di Jakarte yang paling ganteng, gitu loooooh.” Potong Chris dengan nada sombong.

“Enak aja! Kagak ada! Gwa bakal nyuruh loe nyanyiin lagu Fajar, nah!!! Ngasih gwa!!!” ucap Rion yang kemudian langsung mendendangkan lagu Sunda berjudul Fajar tersebut. “Jiga kalangkang… ey! Di waktu fajar…. Di beulah wetan… ey! Hurung gu….”

“Stoooooop!!! Udah ya acara cintai produk dalam negerinya. Sekarang, ngomong ke gwa! Emang loe punya rencana apa? Cepet! Gak pake lama!” teriak Chris yang mulai tidak sabar.

Maka berkonspirasilah kedua orang berbeda Negara itu dalam menyelamatkan suatu pemerintahan yang Rion tak pernah tahu akan dipimpinnya kelak. Kenapa disebut penyelamatan? Karena, jika wanita yang Rion sebut nenek lampir itu sampai merenggut keperjakaannya—ini menurut apa yang ditakutkan oleh Rion—maka Rion harus menikahinya dan ia akan menjadi seorang istri Presiden Negara di suatu hari yang akan menjadikan Rion seorang Presiden yang korupsi.

Dari balik jendela sebuah ruang kerja pada waktu yang hampir bersamaan, tampak seorang lelaki paruh baya yang terlihat begitu lelah sedang merenungkan sesuatu. Lalu, apa gerangan yang sedang ia pikirkan kini? Tak ada yang tahu, kecuali dirinya sendiri yang terlihat begitu terpukul setelah mendapat telepon dari seorang rekan partai politiknya.

Di bawah sorotan lampu kerjanya yang merupakan satu-satunya lampu yang dinyalakan di ruang kerjanya tersebut, si pria tua itu tampak lebih tua dari usianya yang sebenarnya. Kerutan-kerutan di dahinya semakin terlihat jelas dengan lipatan yang tampak lebih banyak dari yang sebenarnya akibat efek bayangan dari lampu kerjanya.

Kedua tangan yang digunakannya untuk menopang dagunya terlihat letih kini. Sudah hampir satu jam setelah telepon ruang kerjanya itu berdering, ia mengurung dirinya sendiri di sana.

Diliriknya jam tangan yang masih melingkar di tangan kanannya. “Gadis itu pasti sudah menelepon Rion.” Gumam sang presiden yang telah diberitahu oleh ketua partai politiknya dengan sangat bersemangat untuk menjodohkan puterinya dengan Rion, putera sang presiden. Gadis itu mungkin punya reputasi penggoda di kampusnya dulu, tapi tampaknya sang presiden tidak peduli.

Yang ada dalam benaknya kini hanyalah perasaan tak percaya dan marah terhadap apa yang disampaikan seseorang via telepon satu jam yang lalu. Perasaan marah yang wajar dirasakan oleh seorang idealis seperti dirinya.

Idealisme dan nasionalisme yang tumbuh dalam hatinya itu didapatnya saat berkutat bersama teman-temannya saat masa perkuliahan dulu. Saat tak ada hal dalam pemerintahan negaranya yang ia anggap benar. Saat semangat jiwa mudanya yang berkobar tanpa kendali. Saat idealisme yang menggempur dadanya untuk menuntutnya berbuat sesuatu untuk negaranya itu.

Ia sempat bercermin pada dunia abu-abu yang ada di hadapannya sebelum ia menenggelamkan dirinya ke dalamnya kubangan air tanpa batas itu. Ia sempat berpikir lama sebelum ia benar-benar berjanji pada dirinya sendiri untuk mengabdikan seluruh hidupnya untuk Negara tercintanya itu.

Politik bersih yang diimpikannya mungkin tak akan pernah terjadi. Pemerintahan transparansi yang murni demokrasi mungkin tak akan pernah terjadi sepenuhnya. Namun setidaknya, semua hal yang diimpikannya sejak masa perkuliahannya itu telah ia raih saat ia menduduki posisi orang nomor satu di negaranya itu.

Dan ya, memang benar, ia telah berusaha sekuat tenaga untuk mengabdikan seluruh hidupnya untuk negaranya sendiri. Inflasi mungkin telah ditekan seminimal mungkin, pertumbuhan ekonomi mungkin telah meningkat sangat pesat, dan pengangguran mungkin telah diperkecil angkanya. Namun setelah itu, apa yang akan terjadi? Setelah apa yang selama ini mati-matian ia perjuangkan, apa?

Tak ada yang abadi, harusnya itu juga ia pikirkan sebelumnya. Bahwa, suatu hari nanti, ia harus menanggalkan semua yang menjadi miliknya kini. Ia harus lengser setelah dua periode pemerintahannya. Dan itu, sama sekali tak menjadi suatu masalah baginya. Karena dia memang bukan seorang yang haus kekuasaan mutlak tanpa batas sejauh mana jantungnya masih bisa berdetak.

Namun yang kini membuatnya resah adalah keputusan partai politiknya yang memintanya untuk mencalonkan anak semata wayangnya menjadi calon presiden untuk menggantikannya di masa pemerintahan berikutnya. Harusnya, ia senang. Harusnya, ia bangga. Tapi, apa yang ia rasakan adalah sebaliknya. Ia sama sekali tak menginginkan hal tersebut terjadi.

Dalam seketika setelah hubungan telepon itu berakhir, sang presiden pun merasa benar-benar bodoh. Atau mungkin, merasa dibodohi mentah-mentah oleh partai politiknya. Sudah sejak jauh hari putranya memang dipersiapkan untuk memiliki image sempurna seorang nomor satu di negaranya.

Hal itu, dibuktikan oleh banyaknya pengharapan rakyat untuk memiliki presiden muda seperti puteranya. ‘Apa itu tidak berlebihan?’ itulah yang dipikirkan sang presiden. Ia tak pernah mempermasalahkan apresiasi media terhadap puteranya layaknya apresiasi para paparazzi terhadap Pangeran Inggris. Bahkan, begitu pula respon rakyat Indonesia terhadap puteranya itu.

Ia tak pernah mempermasalahkannya. Karena ia sama sekali tak pernah berpikir partai politik mana yang mau mencalonkan seorang muda tak berpengalaman seperti anaknya itu?! Tak akan ada.

Namun nyatanya? Seiring bergulirnya waktu, partai politiknya seakan sedang melakukan kampanye untuk anaknya selama ini. Berusaha untuk menampilkannya sebagai seorang anak muda yang kompeten dan berjiwa nasionalisme tinggi agar layak menjadi seorang pemimpin bangsa.

Sang putera pun layaknya boneka yang di permak sedemikian rupa agar imagenya terlihat begitu nyata bagi para fansnya. “Semua itu salahku.” Gumam sang presiden. Karena memang dialah yang memaksa anaknya untuk menuruti semua kegiatan yang diaturkan partai politiknya untuk puteranya tersebut.

Pada awalnya, sang ayah hanya menginginkan sang anak lebih mencintai negerinya dengan kegiatan-kegiatan berbaukan kenegaraan. Tapi nyatanya, ada suatu permainan strategi masa depan yang dimainkan oleh partai politiknya. Yah, demi mendapatkan suara yang banyak dalam parlemen mendatang, si partai politik secara bertahap telah membentuk boneka baru untuk menarik hati peminatnya.

Sang presiden semakin larut dalam penyesalannya. Ia tak akan merasakan penyesalan itu, jika ia tak mengenal puteranya atau jika ia mengenal puteranya sebagai seorang yang beridealisme dan bernasionalisme tinggi terhadap negaranya. Namun nyatanya, ia mengenal puteranya sebagai seorang pemberontak dan cenderung bertindak semaunya.

Ini semua adalah kesalahannya. Seluruh pikirannya kini kembali ke masa lalu. Moment penting yang menentukan masa depan negaranya. Lima tahun yang lalu, ia harus mewakili negaranya dalam sebuah perjanjian penting yang menyangkut kepentingan negaranya itu.

Sepanjang perbincangannya dengan Perdana Menteri Negara sahabat tersebut, tak pernah ia dilanda perasaan tak enak seperti itu. Perasaan yang tak dapat dirinya jelaskan maupun ungkapkan dengan kata-kata. Sayangnya, perasaan itu dihiraukannya. Ia gelap mata dan tak ingin diganggu oleh telepon dengan kepentingan apa pun. Apalagi kepentingan yang berkenaan dengan keluarganya yang ia anggap di luar urusan kenegaraan.

Untuk pertama kalinya, penyesalan terbesar dalam hidupnya menimpa dirinya. Ia pulang dengan derai air mata yang tak mengalir. Ia pulang dengan sang isteri yang tak lagi menyambutnya seperti biasa. Ia pulang disambut jasad sang isteri yang telah dikebumikan dalam damai.

Tak ada tangis. Tak ada jeritan. Tak ada ekspresi kesedihan. Yang ada hanyalah sesal yang menggumpal dan membesar setiap harinya dalam hidupnya.

Sang isteri yang biasanya menemani tugasnya ke mana pun, hari itu tiba-tiba tak dapat ikut karena sakit. Sakit. Penyakit yang ternyata telah lama disembunyikan oleh sang isteri darinya. Tak ingin diungkapkan karena tak mau membuat sang suami terganggu urusan kenegaraannya.

Sebuah kamar luas berantakan dengan perabotan yang tumpah ruah di lantai. Pecahan-pecahan kaca berhamburan di beberapa tempat. Jendela setinggi pintu kamar tersebut terbuka seluruhnya menuju balkon. Di sudut balkon tersebut duduk meringkuk seorang yang amat dikasihinya. Seorang pemuda kuat yang lain hari itu. Hari itu, dirinya begitu rapuh dan hancur.

Tak pernah ia melihat anaknya menangis seperti itu. Kedua matanya merah dan sembab. Kemeja putih dan jins putih gadingnya tampak begitu lusuh dan kusut, dirinya benar-benar berantakan. Tubuhnya bergetar, ia mungkin memerlukan pelukan saat itu. Tapi, ia tak mungkin mau menerima pelukan dari ayahnya saat itu. Ayah yang ia anggap telah tega melepas kepergian ibunya melawan maut tanpa menemani di sampingnya.

“Rion….” Ucap getir ayahnya yang berusaha mendekati puteranya itu dengan duduk di sebelahnya. Beberapa kali sang ayah berusaha menyentuh puteranya tersebut, tapi penolakkan ditunjukkan dengan sangat kentara dari sikap tak bersahabat kepada ayahnya itu.

“Ayah juga merasakan apa yang kamu rasakan, Nak. Ayah benar-benar kehilangan ibumu,”

“Diam!!” teriak Rion yang tiba-tiba berteriak histeris. Tubuhnya bergetar tak terkendali. Ia menatap ayahnya penuh kebencian dan rasa marah.

Untuk sesaat sang ayah mencoba kembali untuk mendekati puteranya tersebut. Namun kini, sang anak benar-benar menunjukkan kemarahannya dengan berdiri dan berteriak lantang di depan ayahnya. “Ke mana saja kau saat ibu meninggal?! Tak ada!!! Kau tak ada bersama kami!!!”

Kemudian sang ayah pun berdiri untuk mensejajarkan tinggi mereka berdua. Air mata yang mengalir di wajah puteranya itu seakan telah mewakili pedih yang dirasakannya saat itu. Teriakkan puteranya pun terasa pantas ia terima. Ia diam. Tak menjawab atau membela diri. Ia malah mungkin berharap puteranya itu akan menghantam wajah brengseknya yang memang pantas mendapatkannya.

“Aku… aku meneleponmu berulang-ulang kali!!! Tapi mereka tak menyampaikannya padamu!!!” ucap Rion dengan getaran di beberapa bagian suaranya. “Kau! Kau memang presiden di Negara ini, tapi kau juga ayahku!!! Suami dari ibuku!!!”

Ucapnya dengan suara yang sangat keras dan tak beraturan. Tangisnya terhenti. Ia kemudian berhenti berteriak. Namun kebencian kian melanda dadanya yang semakin sesak karena kemarahannya. “Aku ingin tahu,” ucapnya yang hampir mirip gumaman. “inikah Negara yang kau cintai? Apakah Negara ini lebih penting daripada ibu? Lebih penting?” pertanyaan itu dijawab keheningan yang sangat lama yang tercipta antara ayah dan anak itu.

Untuk beberapa saat, mereka diam dengan pikirannya masing-masing. Perasaan mereka tak karuan, namun satu hal yang pasti sama-sama mereka rasakan, sepi. Rasa sepi karena perginya seorang yang sangat mereka cintai. Tapi apa Tuhan akan mengembalikannya pada mereka walaupun mereka berteriak sekeras apa pun atau menangis sebanyak apa pun? Rion yang malang sayangnya tak pernah ingin memikirkan hal tersebut. Hal yang ada dalam pikirannya saat itu hanya perasaan marah dan sedih yang mendalam. Hanya itu.

“Negara ini telah merebutmu dari kami. Dan aku—tak akan—pernah memaafkannya—karena telah—merebutmu.” Ucap Rion kembali dengan beberapa penekanan di beberapa bagian dalam kalimatnya. “Kau tahu satu hal yang tak akan mungkin kau dengarkan dari abdi-abdi dungumu itu?!” ucapnya kini, tak terkendali. “Kau—kau tak lebih baik daripada seorang PENGECUT!!!!”

Rion pergi meninggalkan ayahnya. Dan tak kembali untuk waktu yang cukup lama. Waktu di mana sang presiden tak hanya kehilangan seorang yang dicintainya, tapi dua orang langsung terenggut dari hidupnya. Satu orang yang tak akan pernah terlihat lagi, dan seorang lagi yang mungkin akan menghancurkan apa yang diusahakannya sekian lama ini.

Sang presiden diam bungkam dalam penyesalannya yang secara tidak langsung menciptakan seorang yang membenci Negara yang telah diperjuangkannya mati-matian itu. Tak ada lorong waktu untuk mengembalikan waktu. Tak ada pembalik jam pasir yang dapat mengembalikan kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya. Tapi apa ia tahu satu hal yang dapat ia gunakan untuk mendapatkan hati anaknya kembali, yaitu cinta?

***

No comments:

Post a Comment