October 17, 2009

CHAPTER 3

Gadis yang bernama Dea itu suasana hatinya kini sedang tak secantik paras mukanya yang dipoles secara menyeluruh. Ia kesal. Ia marah. Dan sama sekali tidak tertarik dengan pria muda, kaya, dan tampan sekali pun yang ada di hadapannya kini.

Restoran bernuansa Eropa dengan alunan piano yang membawakan Symphony no. 9 karya Beethoven pun tak dapat mengobati luka hatinya. Gadis itu benar-benar merasa terhina. Bagaimana mungkin seorang cantik, tinggi semampai, dan sexy—itu menurut dirinya sendiri—bisa dilempar layaknya bola voly pada pria mata keranjang seperti pria yang ada di hadapannya kini.

Pudding coklat sebagai desert makan malamnya, sama sekali tak ia sentuh. Bahkan, makanan-makanan sebelumnya pun tak ia sentuh. Ia sama sekali tak ingin makan. Sepertinya ia terlalu sibuk dengan pikirannya untuk dapat membalas sakit hatinya pada pria yang telah menyia-nyiakannya.

Lelaki di hadapannya hanya dapat diam sambil menikmati makan malamnya yang terasa sangat membosankan. Apa yang diharapkannya sebenarnya adalah wanita ceria untuk bersenang-senang. Dan sebenarnya, ia sama sekali tak akan keberatan untuk mengeluarkan isi dompetnya untuk mentraktir shopping atau apa pun yang dapat membuat si wanita tersenyum dan mau bersenang-senang dengannya.

Namun sayangnya, ia sangat kecewa dengan si nenek sihir yang sahabatnya titipkan padanya. Ia kecewa. Raut mukanya diusahakannya agar senantiasa dapat menawan hati si wanita. Walaupun ia tahu, tak ada peluang lagi untuk menarik hati si wanita angkuh itu, namun ia tetap saja berusaha untuk menebar pesonanya.

Langit gelap kota London dengan lampu-lampu kota yang menerangi jalanannya sama sekali tidak membuat hati sang wanita tehibur, malah membuatnya merasa bertambah sedih dan kesal. Sambil mendengus keras, ia akhirnya muak juga dengan semua yang menimpanya dan menyesali kepergiannya tanpa pria pujaannya yang bernama Rion itu berangkat bersama dari Indonesia.

Tas kecil berwarna merah dengan rantai panjangnya hampir mengenai wajah tampan si pria jika saja ia tak cepat menghindar. Dengan tergesa-gesa, dikejarnya si wanita itu setelah membayar bill dari pelayan restoran yang didesaknya untuk bergerak cepat saat memberikan bill ke mejanya.

Jas hitam panjangnya terkibas ke belakang dibawa angin malam yang menerpa ke arah si pria. Setelah berlari ke sana ke mari di bawah lampu temaram jalanan yang tak kunjung redup, ia akhirnya menemukan gadis berbalut gaun merah itu. Si gadis tampak sedang duduk di kursi taman di pinggir jalan sambil menghisap sebuah rokok putih yang asapnya kemudian mengepul liar dari mulutnya.

Si pria sebenarnya tak ingin mendekati wanita itu, apalagi duduk di sampingnya. Ia memang pengagum semua wanita, tapi ia sama sekali bukan seorang pemaksa yang hobi mengganggu wanita yang sedang bad mood. Tapi akhirnya, ia duduk juga di samping wanita itu. Untuk kali ini, dia tidak bersama dengan tujuannya seperti halnya yang dia miliki kepada wanita mana pun saat ia mencoba mendekati mereka. Keli ini, entah dari mana asalnya perasaan itu, ia hanya merasa iba saja dan tak ingin meninggalkan wanita itu sendiri.

”Kau boleh pergi kalau kau mau. Aku bisa pulang sendiri.” ucap si wanita, masih mempertahankan sikap angkuhnya.

Si pria bernama Chris itu hanya diam dan tersenyum kecut mendengar perkataan wanita itu. Ada sebersit rasa kagum yang melintas di hatinya. Ia tak pernah bertemu dengan wanita seangkuh sosok yang ada di sampingnya itu sebelumnya. Dirinya tak pernah bertemu dengan wanita yang bersikap sok kuat setelah dibuang seorang pria secara tidak hormat seperti itu.

Di balik semua itu, terdapat sebersit rasa iba dan heran dalam pikiran Chris, bagaimana mungkin sahabatnya bisa menolak wanita secantik dan seanggun makhluk indah yang ada di sampingnya itu? Jika ia adalah sahabatnya, tak akan pernah ia mau melepas pergi wanita berambut panjang lurus indah itu.

”Kau tuli? Ngerti bahasa Indonesia kan?” ucap wanita bernama Dea itu kini dengan nada agak ketus tanpa melihat lawan bicaranya. Tatapannya lurus ke depan, ke arah toko barang antik kecil tua yang tak juga dihampiri pengunjung. Tatapannya tak bernyawa, kosong.

”I’ll stay with you, beside you. Don’t worry, I’ll never touch you. I just wanna sure my self that you’re safe.” ucap Chris terdengar serius.

Dea benar-benar geli mendengarnya. Apa ia tak salah dengar? Hal itu dapat terucap dari pria brengsek dan mata keranjang seperti Chris? Chris, sahabat dari pria yang digilainya dari zaman kuliah dulu, Rion.

Siapa yang tak kenal Chris? Mulut sang playboy ini mungkin mempan untuk wanita mana pun di muka bumi ini. Ketampanan warisan darah Indonesia-Inggrisnya mungkin sangat memikat wanita mana pun. Tapi tidak begitu halnya dengan Dea. Hal itu karena ia beruntung, beruntung karena berjumpa dengan Rion terlebih dahulu dalam acara kenegaraan partai politik pimpinan ayahnya.

Dea tertawa keras sekali, puntung rokok yang ada dalam jepitan jemarinya sampai terjatuh. Ia tak mengerti mengapa ia bisa tertawa seperti itu, tapi ia benar-benar geli mendengar perkataan yang terlontar dari mulut sang playboy itu.

Chris tersenyum kecut. Ia tahu betul apa yang ada dalam pikiran Dea. Tapi ia berusaha untuk tidak peduli dan tetap bertahan untuk memastikan keamanan wanita itu. Ini amanat, pikirnya. Rion telah menitipkan Dea padanya, dan ia tak ingin terjadi apa pun pada Dea.

Tapi apa benar alasan yang dimiliki Chris seutuhnya seperti itu? Sepertinya tidak, ada hal lain yang mendorongnya untuk tetap bertahan dari si mulut pedas dan angkuh itu. Ada hal lain yang membuatnya tetap menginginkan posisi itu. Posisi di mana ia bisa berada di samping wanita cantik itu. Terdapat suatu hal tak biasa yang membuatnya malah merasa nyaman berada di dekatnya.

Sadar akan tindakannya yang di luar norma kesopanan itu, Dea langsung terhenti dari tawanya. Ia kini melihat teman duduknya itu. Seorang pria blasteran dengan setelan jas dan kemeja putih tanpa dasi itu menopang sebelah kakinya sambil merokok. Terlihat begitu tenang Chris di sampingnya.

Padahal, pria mana yang akan mau berlama-lama duduk di samping wanita yang mungkin mereka yakini sedang PMS? Rasanya presentasenya akan sangat kecil. Seketika, Dea merasa sangat beruntung. Di tempat asing itu, walaupun Rion tidak bersamanya, setidaknya ia bersama seseorang. Setidaknya, ia tak sendiri.

”Kau tahu, dadaku selalu bisa kau pinjam jika kau ingin menangis.” ucap Chris sambil melepas keluar kepulan asap rokok dari mulutnya sambil terkekeh geli atas ucapannya itu. Tak akan pernah gadis ini akan menyandarkan kepalanya pada pria sepertiku, itulah yang ada dalam pikirannya. Lalu ia melanjutkan perkataannya. ”Kenapa kamu rela menyebrangi daratan dan lautan buat menyaksikan sebuah pertunjukkan konser yang sama sekali gak kamu sukai. Yang suka konser lagu klasik kan si dungu Rion. Tapi nyatanya, di mana dia sekarang? Ia tak di sini. Ia tak bersamamu.”

Ucapan Chris itu disambut tamparan sangat keras dari jemari lentik Dea yang langsung mengambil posisi berdiri saking marahnya. Setiap kata yang diucapkan Chris adalah benar, dan Dea mengakui hal tersebut. Tapi ia sama sekali tak ingin mendengarnya. Ia sama sekali tak menginginkan serangkaian kenyataan disodorkan ke depan wajahnya secara terang-teranngan. Ia sama sekali tak ingin tahu!!!

Chris mematung dalam duduknya. Ia melihat mata si gadis yang telah berkaca-kaca. Ia melihat seorang gadis angkuh yang telah merapuh karena perkataannya barusan.

Chris langsung berdiri mensejajari posisi Dea, lalu ia menepuk dada sebelah kanannya. ”Menangislah...” ucapnya yang kemudian disambut kepala Dea yang bersandar di dadanya.

Tak pernah Dea sangka, ia akan menangis sekeras itu. Dan tak pernah ia sangka ia akan merasakan sakit seperih itu. Ia telah terlalu lama berharap dan berbuat banyak untuk pria yang dicintainya itu. Namun sesaat, tangis itu langsung tumpah saat seseorang berkata hal yang sangat sepele, ’ia tak bersamamu’. Kata-kata itu terus terngiang di telinga gadis itu.

Kata-kata yang sangat menyakitkan, dan ia ingin terus menangis, agar yang ia dengarkan sekarang adalah tangisnya. Hanya tangisnya. Namun kemudian, bukan lagi tangisnya yang terdengar. Bukan lagi kata-kata menyakitkan itu yang terdengar. Tapi, senandung sebuah lagu yang tergumam dari seorang yang sebelumnya tak pernah ia harapkan keberadaannya, Chris.

***

No comments:

Post a Comment