November 26, 2009

Chapter 5


D

eru angin menerpa wajah si bocah nakal bernama Rion. Wajahnya ditekuk jelek, merenggut kesal karena teman sepermainannya yang bernama Karina itu tak mau juga mengembalikkan buku kesayangannya. Buku dongeng yang bercerita tentang kumpulan anak yang tak pernah tumbuh dewasa melawan kekejaman Kapten Hook.

Hamparan rerumputan hijau menjadi alas duduk Rion kecil yang bertahan selama lebih dari dua jam menanti keluluhan hati Karina yang menahan bukunya di atas pohon jambu bijiGuava, psidium guajava linnyang tinggi—hampir mencapai 2 meter. “Kalau kau memang lelaki, naik!” teriak Karina yang masih juga sama keras kepalanya dengan Rion, ia tak mau turun sampai Rion mau menghampirinya sendiri dan mengambil buku dongengnya itu.

Wajah Rion semakin kecut saja. Bukannya ia tak mau naik, tapi ia tak mau sampai terjadi perebutan buku di atas pohon yang berbahaya seperti itu. Apa yang ia takutkan adalah keselamatan teman sepermainannya itu. Ia tak mau naik, tak akan pernah mau naik.

“Mengapa kau sebegitu takutnya, Rion?! Ayo naik! Temani aku di sini, baru aku akan kembalikan buku bututmu ini!” teriak si gadis berambut bergelombang sebahu dengan kaos oblong putih dan rok hitam yang berkibar-kibar menutupi kakinya sampai ke lutut.

“Aku tak mau naik!” teriak Rion yang masih bertahan di balik benteng pertahannannya.

Karina kecil tampaknya mulai kesal dengan sikap keras kepala temannya itu. Ia ingin sekali menunjukkan sesuatu. Satu hal yang ia yakini akan membuat temannya itu senang. Tapi, ia tak mau juga naik.

Penakut! teriak Karina.

“Terserah! Karin bodoh!” teriak Rion yang kemudian berdiri dan berjalan menuju rumah berlantai duanya.

Ia berjalan perlahan tanpa menoleh, berharap teman seusianya itu akan memanggilnya kembali, tapi itu tidak terjadi. Esoknya, Rion menangis sesenggukan di kamar rumahnya yang dihiasi gambar-gambar tokoh Disney yang lucu-lucu dengan mainan-mainan yang berserakan di mana-mana. Ia menangis dan mengamuk. Kamarnya hampir tak dapat dikenali lagi. Ia benar-benar marah karena temannya itu pergi tanpa berpamitan terlebih dahulu padanya.

Ia pergi ke tempat yang jauh dan tak terjangkau oleh Rion kecil.

***

“Rion! Bangun dooong! Molor mulu!” teriak seorang pria muda seumurnya yang sedang mengemudikan sedan perak yang melaju kencang di jalan tol.

“Sorry, gwa ketiduran.” Ucap Rion sambil membenarkan posisi duduknya.

Suasana mobil kembali riuh setelah Rion bangun. Ia tertawa lepas sekali bersama teman-temannya. Ini suatu kesempatan yang sangat langka baginya untuk dapat bersenang-senang dengan teman-temannya. Karena itu, ia ingin menghabiskan akhir pekannya itu bersama mereka. Dan untuk mendapatkan semua itu, ia rela mengorbankan teman semasa kuliahnya dulu, Dea. Tapi ia, sama sekali tak peduli. Karena rupanya, ia masih belum dapat menerima kepergian Karina kecil yang tak jelas kabarnya itu.

***

Hampir sepuluh tahun, sejak ia lulus dari SMP dulu, ia tidak menginjakkan kakinya di Kota Bandung. Dan kini, ia bersama-sama temannya sedang menikmati jalan-jalan bersama di salah satu mall di Kota Kembang tersebut. Gadis-gadis cantik, jajanan-jajanan ringan, dan berbagai toko-toko yang berjejer rapi di sepanjang jalanan gedung mall tersebut.

Kangen sekali rasanya, saat-saat dahulu, saat dia dan Karina bermain bersama di TLL (Taman Lalu Lintas), atau mungkin saat mereka bermain kejar-kejaran di SD. Tak kan tergantikan. Getar HP-nya memecah lamunan Rion, ia meronggoh sakunya dan menyumpah kesal sebelum kemudian dia menerima panggilan telepon tersebut.

“Hallo.” Ucapnya yang kemudian disambut rentetan omelan di ujung sana. Dea, gumam Rion.

“Kamu ini benar—benar… benar-benar brengsek, Rion! Kamu menelantarkan aku di kota ini bersama si mata keranjang Chris?! Apa kamu pikir aku tidak tahu reputasinya di masa perkuliahan dulu yang super terkenal itu?! Apa kamu tidak waras?!” teriak Dea yang kini sedang merebahkan tubuhnya yang ramping di atas tempat tidur hotelnya yang empuk.

“Aku benar-benar minta maaf. Tapi, kamu tahu kan, aku sibuk minggu ini dan….” Belum juga Rion menyelesaikan penjelasannya, Dea telah menyerangnya dengan rentetan kata-kata kembali.

“Bohong!!!” teriaknya, “Ayahku jelas-jelas bilang kamu bebas minggu ini. Tidak ada acara kenegaraan atau sosial apa pun. Kamu jangan pernah mencoba untuk menipuku, Bung! Kamu jelas tahu siapa ayahku! Dia pemimpin partai politik ayahmu.” Ucapnya dengan nada sombong yang sangat angkuh.

“Lalu? Apa dia tahu dengan sangat terperinci semua kegiatanku? Tentu saja dia bukan manajerku yang tahu semua kegiatanku, bukan begitu?!” ucap Rion yang kemudian disertai bunyi hanphone yang ditutup flipnya. “Brengsek!” umpat Rion.

Gara-gara telepon dari Dea tersebut, membuatnya tertinggal agak jauh dari ketiga teman prianya yang lain. Tampaknya mereka tak mau ikut campur dengan bad mood Rion saat pertama kali melihat ekspresinya mengangkat teleponnya. Rion kembali menyumpah dan membuka ponsel flipnya saat melihat tulisan ‘dracully-daddy’ dengan berang.

“Ya? Kau ingin memarahiku, Pak Presiden? Ya, tentu saja karena aku, anakmu yang kurang ajar ini tidak mau memenuhi ajakan sang tuan puteri, betul kan?” di luar tebakan Rion, ia malah mendapatkan berita yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Langkahnya terhenti, lalu kemudian berlari sekencang mungkin menuju lapangan parkir tanpa mempedulikan teman-temannya yang bingung karena prilakunya itu.

Bingung bukan kepalang, akhirnya teman-temannya yang lain berlari mengikuti si anak presiden itu menuju mobil mereka dan melesat ke tempat yang tak pernah Rion bayangkan sebelumnya. Ia pergi dengan harapan menggebu hingga hampir membuatnya tak dapat bernapas. Ia senang sekali saat itu.

***

Degup jantungnya masih belum beraturan, Rion sama sekali tak menyangka dapat bertemu lagi dengannya. Apa yang membuatnya sedemikian senang? Padahal, ia hanya bertemu beberapa menit saja dengannya. Tapi kesenangan tak terkira menjalar ke seluruh tubuhnya.

Ditatapnya kalung berliontin sebuah nama, KARINA, yang digenggamnya erat sejak dua puluh tahun yang lalu. Seorang teman semasa kecil yang sangat berarti baginya. Masih jelas dalam memori Rion, saat suatu hari yang sangat dingin di musim hujan di hari ulang tahunnya. Ia duduk cemberut di sudut ruang tengahnya. Wajahnya berkerut jelek dengan kaki yang dilipat dengan kedua tangan yang melingkarinya.

“Rion, Karin datang.” Ucap Ibu Rion yang diingatnya begitu cantik dengan rambut panjang lurusnya yang digerai indah.

Beberapa saat kemudian, seorang gadis kecil memasuki ruang keluarga yang telah dihias indah dengan balon-balon dan untaian-untaian kertas warna-warni yang mempercantik dekorasi ruangan yang lumayan besar tersebut. Sebuah kue ulang tahun yang sangat besar tampak masih utuh diletakan di atas sebuah meja di bagian tengah ruangan tersebut.

“Kau tak usah datang jika tak ingin. Mereka juga gak datang.” Ucap Rion kecil yang masih terisak karena tak ada satu pun kecuali Karina yang datang di pesta ulang tahunnya. Hari itu hujan memang mengguyur Kota Bandung tanpa ampun. Kencang sekali angin yang bertiup dan menumbangkan beberapa pohon di jalanan sekitar rumah Rion.

“Aku kan tetanggamu. Rumah kita sebelahan. Masa aku gak datang! Dasar bodoh!” teriak Karina membuat Rion kini menatap lawan bicaranya. Rasa haru membendungi dadanya. Di ulang tahunnya yang ketujuh itu, untuk pertama kalinya Rion belajar bahwa kebohongan tak sepenuhnya jelek. Karena ia tahu dengan sangat jelas, kalau Karina tidak tinggal bersebelahan dengannya. Rumahnya dihalangi kurang lebih lima rumah besar-besar yang menghabiskan lahan bermain untuk anak seusia mereka.

Untuk dapat datang ke pesta ulang tahun Rion, pastilah memerlukan pengorbanan yang lumayan besar di tengah-tengah hujan yang sangat besar tersebut. Dan hal tersebut terlihat jelas dari pakaian Karina yang basah kuyup. Karina kecil mungkin menggunakan payung untuk mencapai rumahnya, namun hal tersebut hanya sia-sia saja, sama sekali tak dapat menghalangi sang hujan mengguyur apa pun yang ada di permukaan bumi saat itu.

“Bagaimana cara kamu kemari?” Tanya Rion yang tak bergerak sedikit pun dari tempatnya duduk.

“Ayahku mengantarku naik mobil.” Jawab Karina yang diyakini Rion merupakan kebohongan lagi. Bagaimana mungkin ayahnya mengantarnya? Bukankah ia sedang sibuk mengerjakan sebuah proyek besar yang diberikan pemerintah padanya? Entah proyek apa itu, namun seperti yang ayahnya ceritakan padanya bahwa ayah Karina sedang sibuk-sibuknya mengerjakan sebuah proyek penting yang berpengaruh bagi kelangsungan kehidupan negaranya.

Dilihatnya gadis itu merapikan poninya setiap kali ia berbohong dan melihat entah ke mana saat ia berusaha menyembunyikan kebohongannya tersebut. Tapi Rion tak peduli. Ia bahkan sangat menghargai kedatangan temannya itu, walaupun dengan sedikit kebohongan yang membuatnya malah merasa sangat terharu.

“Ayo ikut aku, kamu basah banget.” Ucapnya sambil beranjak berdiri menuju anak tangga di bagian samping ruang keluarganya. Sambil tertawa riang, Karina melangkah ringan mengikuti temannya itu dengan sebuah kotak kecil, kadonya untuk Rion.

Rion mengajak Karina ke kamarnya, sebuah kamar kecil sederhana dengan dinding bergambar tokoh-tokoh Disney yang lucu-lucu. Mungkin kamarnya lebih mirip kamar untuk balita berusia di bawah lima tahun, tapi ia jelas sangat menyukainya sampai ibunya tak diijinkannya untuk mendekorasi ulang kamarnya tersebut.

“Kau suka Mickey Mouse?” Tanya Karina yang dijawab gelengan oleh Rion, ia sedang sibuk mengorek-ngorek isi lemari bajunya yang lebih tinggi dari tinggi badannya.

“Donald Duck?” dan pertanyaan pun terus bergulir sesuai dengan tokoh-tokoh yang tergambar di dinding, namun selalu dijawab gelengan oleh Rion. Dan akhirnya, Karina pun menyerah disertai dengan penyerahan sebuah kaos dan celana panjang milik Rion.

“Untuk apa?” Tanya Karina yang masih berusia enam tahun jalan tersebut, lebih muda dua tahun ketimbang Rion.

“Tentu saja untuk kau pakai. Aku tunggu di bawah ya!” Rion kemudian meninggalkan Karina yang masih dibingungkan dengan pakaian anak lelaki seusianya.

Tapi akhirnya ia kenakan juga pakaian Rion tersebut dan menaruh pakaiannya di kantong cucian yang tersedia di kamar tersebut. Sebuah buku bercover hijau dengan gambar seorang bocah bertopi hijau dengan pakaian yang serba hijau tersenyum riang di sana. “Peter Pan….” Gumam Karina yang kemudian meraih buku tersebut dan bergegas turun ke lantai bawah dengan kedua tangan yang menggenggam buku dan kotak kado.

“Aku tahu aku tahu!!!” teriak Karina. Di bawah sana sedang berbincang Rion dengan ibunya yang ikut tercengang melihat tingkah Karina tersebut. “Peter Pan! Dia kan yang kamu suka?!” teriak Karina sambil menyerahkan buku hijau tersebut dan kotak kado kecil bersampul kertas kado berwarna merah dengan pita hitam melingkarinya.

Semua orang tertawa geli melihat tingkah Karina yang tiba-tiba meneriakkan tokoh yang memang disukai Rion tersebut. Dan saat Rion membuka kadonya, ia menemukan sebuah kalung dengan liontin empat huruf menyusun namanyanya, RION.

“Seperti punyaku.” Ucap Karina yang memperlihatkan kalungnya yang tadinya tersembunyi di balik kaosnya yang kelonggaran tersebut.

***

Rion kini mengenakan kembali kalung berliontin rangkaian huruf membentuk nama KARINA. Ia menatap langit malam yang begitu gelap tanpa bintang saat itu. Awan mendung seperti menutupi langit dan tak mengijinkan sang bulan mengintip planet yang dikelilinginya sedikit pun. Hati Rion terlalu sakit untuk dapat digambarkan dan terlalu senang untuk tahu keberadaan orang yang dikasihinya itu.

Di bawah langit-langit ruang kerjanya yang berlokasi di rumah tempatnya tumbuh dan besar, di Kota Bandung. Ia meratapi kehidupannya, ayah, ibu, Karina dan negaranya. Mengapa harus serumit itu? Rion merebahkan tubuhnya dalam nyamannya kursi kerjanya, senyaman apa pun, saat itu ia seakan tak dapat merasakannya. Yang ada hanyalah runyamnya pikiran yang ada dalam kepalanya.

Seolah kembali ke masa beberapa saat yang lalu, Rion, sendirian bersama seorang Profesor di depan dua buah pintu besar putih, “Kenalkan, saya Profesor Budianto Raharjo. Presiden memberitahukan kami untuk menunjukkan proyek paling besar yang dimiliki Negara kita pada Anda.” Ucap seorang Profesor dengan jas laboratorium putihnya yang menyambut kedatangannya pada sebuah laboratorium yang terletak di bawah tanah sebuah gedung tua yang merupakan benteng pertahanan peninggalan Belanda tadi siang.

“Kita memiliki tiga portal, satu di sini dan sisanya terdapat di Sumatera dan Kalimantan. Portal yang terdapat di Sumatera dan Kalimantan sangat produktif karena hasil dari eksploitasi langsung diolah di sana. Namun portal yang terdapat di sini merupakan portal kendali terhadap semua portal yang ada.” Ucapnya tampak begitu bangga dengan hasil kerjanya.

Kini, tubuh tegap Rion kembali dicondongkan ke depan. Dilihatnya kertas-kertas yang bergeletakan di meja kerjanya. Ia membolak-balikkan kertas tentang pemilihan umum dan pendirian sebuah partai. Untuk beberapa saat ia sangat yakin untuk dapat meraih apa yang ia inginkan, namun sesaat kemudian terdapat rasa takut yang menyeruak akan kekalahan. Ia tak mau kalah. Tak ingin kalah, karena ada satu hal yang ingin didapatkannya kembali setelah sekian lama terlepas dari tangannya.

“Aku tak mau kalah! Tak boleh kalah! Harus aku hentikan proyek itu. Harus.” Ucapnya sambil mengepal tangannya keras sekali.

Getar HP-nya kembali memecah lamunannya. Ia menjawabnya dengan segera saat tahu siapa yang menelepon, “Iya, Pak Presiden.” Ucapnya pada ayahnya.

“Aku harus bagaimana mengatakannya, ya.” Terdengar suara gelisah yang sangat dikenali sang anak tersebut. Rion mengenal ayahnya bukan sebagai seorang yang panikan apalagi gugupan atau gelisah seperti yang tergambar dari suaranya sekarang. Namun, sekalinya ia memang gelisah berarti itu dikarenakan suatu hal yang sangat penting dan mengganggu pikirannya.

“Katakan saja.” Ucap Rion yang mulai tak sabar terhadap tingkah ayahnya tersebut.

Hening beberapa saat, lalu ayahnya berkata dengan suara yang sangat berat dan sedih, “Ayah mendapat laporan dari Profesor Budianto, kau membuat kekacauan di laboratorium tadi siang.” Rion tidak menjawab, lehernya serasa tercekat dan kemarahan bergelora dalam dadanya. Siang tadi secara tak sengaja ia melihat folder yang berisikan proyek pemanipulasian sebuah rumah yatim piatu yang dibuatkan oleh pemerintah pada masa di mana Belanda pun belum menginjakkan kakinya di Indonesia.

“Dan…” Rion kembali menyimak suara ayahnya. “dia bilang kau menyuruhnya untuk mengirimnya ke tahun itu. Tahun pertama kalinya rumah yatim piatu itu didirikan. Aku ingin bertanya padamu, kenapa Rion?” Tanya suara parau dan berat itu terdengar begitu serius dan memutar sebelum ke point penting yang akan disampaikannya kepada putranya tersebut.

“Tak ada.” Jawab Rion tak ingin ayahnya mencampuri urusan pribadinya.

Hening beberapa saat, yang terdengar hanya deru napas ayahnya yang terdengar seolah diatur kembali agar normal. “Jika ini berhubungan dengan teman kecilmu, Karina.” Leher Rion serasa tercekik saat itu juga, debar jantungnya berubah tak beraturan. Otaknya seolah lelah untuk berpikir dan berontak mempertanyakan, mengapa ia bisa tahu tentang teman masa kecilnya yang berada di sana? Di sana, di tempat yang begitu jauh, terhalang ruang dan waktu?

“Apa maksudmu?” Tanya Rion mulai tak sabar, “Dari awal… dari awal kau tahu bahwa dia ada di sana. Dari awal kau tahu, dia terlibat proyek itu!!! Mengapa melibatkan anak di bawah umur, Brengsek!!!! Manusia macam apa KAU?!” teriak Rion, kini tak terkendali.

Seolah tahu ini akan terjadi, pria di seberang sana tak merespon apa pun. Ia menunggu… menunggu sampai lawan bicara cukup tenang untuk dapat mendengarkan penjelasannya. “Rion,” ucapnya kembali, setelah ia yakin putranya itu telah kembali tenang dengan tidak menutup teleponnya secara sepihak. Sang Presiden rupanya telah paham betul bahwa putranya tersebut akan mendengarkan dengan sangat baik dan sebanyak mungkin mencari informasi tentang teman kecilnya itu walaupun ia tahu, ia sama sekali tak mau melanjutkan perbincangan tersebut.

“aku juga sama seperti dirimu, tak tahu menahu masalah ini. Aku juga sama kagetnya seperti dirimu.” Ucapnya, kembali diam.

“Jadi?” Tanya Rion dengan nada jengkel yang kentara sekali. “Cuma itu pembelaan yang dapat kau sampaikan padaku, aku tahu, ada hal yang belum kau sampaikan padaku. Tak usah sungkan denganku, Pak Presiden, katakan!”

“Aku mendapatkan laporan yang sangat mengagetkan beberapa saat yang lalu. Laporan ini seharusnya didapatkan oleh presiden yang menjabat jauh sebelumku, namun entah mengapa arsipnya tidak terdapat dalam arsip-arsip yang kupunya.” Kembali, sang Presiden diam, seolah mencari kata-kata paling halus dan sopan yang ia bisa agar tidak membangkitkan kemarahan yang tak diinginkan dari putranya itu.

“Katakan.” Ucap Rion datar.

“Rumah panti asuhan itu, sudah tidak ada. Menurut laporan yang aku terima, para penghuninya, seluruhnya mati oleh suatu wabah penyakit. Dan dilaporkan di sini juga, portal yang menuju ke rumah panti asuhan tersebut telah dialihkan. Aku minta maaf, Rion. Maaf.”

“Bohong!!!” teriak Rion hampir tidak dapat mengendalikan dirinya sendiri. “Tadi siang aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Dan saat itu dia baik-baik saja!!! Aku di sana!!! Dan portalnya masih tetap di sana!!! Kau pasti berbohong!!!! Bohoooong!!!!!” teriak Rion yang langsung memporak porandakan ruang kerjanya. Kemarahan meliputi dirinya, ia gelap mata, hatinya membatu dan terluka. Satu-satunya pelita hidupnya tiba-tiba saja dimatikan begitu saja.

***