October 14, 2009

CHAPTER 1

Fania adalah nama panggilan seorang gadis kecil yang sedang bersenandung pelan di balik jendela kamarnya saat ini. Dia menatap jauh menerawang menembus langit dan awan yang terbentang indah di atas permukaan bumi. Seolah dengan begitu, dia dapat menepis rasa sepi yang dihadirkan oleh kamar kecilnya itu.

Gadis kecil berusia delapan tahun dengan rambut bergelombang panjangnya itu tersenyum manis saat melihat kumpulan burung pipit mengepakkan sayapnya, membawanya terbang tinggi di birunya langit. Mata coklat terangnya bergerak mengikuti arah ke mana burung Pipit itu terbang. Bibir merah kecilnya mengerucut, takjub sekaligus terkesima melihat pemandangan tersebut. Sesaat setelah pemandangan itu menghilang, Fania menuruni tempat tidurnya yang sempit, menuju sebuah lemari yang menjulang tinggi sampai ke langit-langit kamarnya yang tidak terlalu tinggi.

Keningnya berkerut saat membuka pintu lemari yang berdecit nyaring tak ramah. Dia melihat ke dalamnya dan mengambil sebuah kotak tua yang ukurannya lebih besar dari perutnya yang kecil. Setelah melakukan adegan menyeret kotak tersebut di lantai kayu tua kamarnya yang sudah mulai lapuk dan pengeluaran tenaga ekstra, ia meletakkannya di tempat tidur kecilnya yang berantakan oleh selimut kain perca yang sama sekali tak layak disebut selimut dan potongan-potongan krayon beragam ukuran dengan kertas-kertas berserakan memamerkan gambar warna-warni di permukaannya.

Perlahan-lahan seolah takut membangunkan raksasa yang sedang tidur, ia mengeluarkan isinya. Beberapa buku dengan berbagai jenis ukuran tersimpan di sana, mulai dari buku Sejarah, Geografi, sampai Astronomi. Fania kecil begitu takjub melihat buku-buku tersebut. Entah apa yang menarik dari buku-buku tersebut baginya, namun sepertinya, Fania sendiri akan dengan senang hati membacanya dalam mengisi hari-hari yang akan dilaluinya di rumah tua yang kini ditempatinya itu.

Beberapa hari yang lalu, di suatu malam yang sangat gelap tanpa bulan maupun bintang, seorang wanita cantik yang merupakan satu dari pengasuh rumah tua yang merupakan rumah yatim piatu itu mendatangi kamarnya. Sambil memberi aba-aba untuk tetap diam di tempat tidurnya, ia berbisik lembut pada Fania yang hampir terlelap saat itu. “Ini aku, aku akan menaruh ini di lemari pakaianmu, isinya buku. Bacalah jika kau mau. Tapi ingat, jangan sampai ketahuan Ibu Meri, ya!” kepala kecil Fania yang kebingungan itu hanya mengangguk saja dan melihat tangan terampil Ibu Jasmine memasukkan sebuah kotak ke dalam sebuah lemari kayu tinggi menjulang sampai ke langit-langit yang merupakan lemari pakaian di kamar kecil tersebut.

Setelah Ibu Jasmine menaruh kotak buku tersebut, ia menghampiri tubuh kecil Fania yang terduduk di tempat tidurnya. Wanita muda itu berkata dengan lembut, “Jika hal ini ketahuan oleh Ibu Meri, habislah kita. Karena itu, jangan sampai ketahuan, okay?!”

“Faniaaaaa—“ suara falsetto beroktaf tinggi terdengar oleh seluruh penghuni rumah tua itu, memecah lamunan si gadis kecil. Dengan sigap, ia bergegas menutup kembali kotak itu dan dengan persediaan tenaganya yang masih tersisa, ia mengangkut kembali kotaknya itu ke termpatnya berasal.

Tergesa-gesa, ia mengenakan sandal rumahnya dan segera melesat ke sumber suara. Lorong-lorong rumah tua besar yang hamper tak terurus itu berdecit setiap Fania melangkahkan kakinya yang berlari sekencang mungkin.

Rumah tua itu lumayan besar untuk dihuni dua orang pengurus, Ibu Meri dan Ibu Jasmine, dan dua puluh anak yatim piatu. Rumah tua yang terletak hampir di ujung dunia ini—terletak sangat terpencil di tengah hutan topis yang lembap—merupakan sebuah rumah yatim piatu yang didanai oleh seorang kaya raya dan baik hati, tapi kadang sangat aneh bernama Arya Anugerah Bumi Putera.

Setelah melewati hampir beberapa ruangan besar yang tak terurus, Fania berhasil menemukan sumber suara yang meneriakkan namanya beberapa saat yang lalu, Ibu meri. “Kau sangat lambat!” teriak Ibu Meri saat menyadari Fania yang terbilang kecil untuk anak seusianya telah berdiri di sampingnya.

“Fania, kamu tahu kan hari ini Pak Arya akan datang?” ucap Ibu Meri yang duduk di kursi kayu tua lapuk yang terlihat akan patah beberapa saat lagi—tak sanggup menopang berat badan Ibu Meri.

Hari ini Ibu Meri terlihat lebih gempal dari biasanya. Bibirnya terlalu merah oleh lipstick yang telah ketinggalan zaman, dan tatanan rambut bob yang selaras dengan tubuh bulatnya. Ia benar-benar bulat di balik blus gombrang yang mencoba menutupi keseluruhan perut besarnya.

“Fania—pakaian apa yang kamu kenakan sekarang, hah?” Ibu Meri kembali bersuara. Ia menatap kesal Fania yang masih mengenakan kaos krem bututnya dan celana beludru abu yang tak enak dipandang. Fania melempar pandangannya ke seluruh ruang utama, di sana teman-temannya yang lain telah mengenakan pakaian terbaiknya dan berdandan seoptimal mungkin untuk menyambut sang dermawan rumah yatim piatu itu, Pak Arya.

Di sudut ruangan, Fania melihat Ibu Jasmine yang cantik dengan balutan kemeja putih dan celana kain hitam yang menutupi hampir seluruh kakinya. Ibu Jasmine bagai malaikat bagi anak-anak panti asuhan itu. Dia seorang gadis berusia dua puluhan yang entah mengapa mengabdikan dirinya di rumah tua yang jauh dari pesona lelaki tampan mana pun.

Namun, entah mengapa, ia lebih memilih meninggalkan semacam kenikmatan dunia itu. Kenikmatan dunia? Ya, mungkin kata-kata itu tepat untuk menggambarkan kesenangan yang ditawarkan dunia di luar rumah tua yang sama sekali tak menawarkan satu pun kesenangan untuknya. Apa yang ia dapatkan dari rumah itu hanya rasa capek, keluhan, dan keringat. Lalu, apa sebenarnya yang dicarinya dari rumah tua itu? Entahlah. Tak ada yang tahu pasti alasannya untuk tetap berada di tengah anak-anak yang tak jelas latar belakangnya itu.

Sedangkan Ibu Meri? Oh, jangan tanyakan, mengapa ia mau bekerja di rumah tua itu untuk mengurusi anak-anak yang sama sekali tidak disukainya itu! Ia jelas tak punya keahlian lain selain marah dan berteriak. Bisa kerja di rumah itu saja merupakan keberuntungan untuknya. Jadi, tak ada kata tanya mengapa untuk seorang ibu tua berusia empat puluhan itu untuk tidak meninggalkan rumah tua itu demi kesenangan apa pun yang ditawarkan dunia luar yang jauh dari rumah itu.

“Oh Fania… mengapa kamu belum bersiap-siap, sayang?...” Ucap Ibu Jasmine yang menyebrangi ruangan utama yang terlalu besar untuk 22 orang penghuninya itu. Ruangan itu bahkan terlalu luas untuk perabotan yang sangat sedikit. Di sana hanya terdapat tiga puluh kursi kayu lapuk dan satu buah meja besar panjang yang hampir menutupi seluruh lantai ruangan itu dan sebuah lampu gantung besar yang bisa dikatakan merupakan perabot paling mewah di rumah itu.

“Kamu harus segera berganti pakaian, ayo! Ikut aku.” Ucap Ibu Jasmine lembut.

“Tidak usah!” teriak Ibu Meri—yang memang selalu berteriak—“Setelah aku pikir-pikir, biarkan saja dia seperti itu!”

“Tapi Ibu Meri, hari ini kita bukan hanya kedatangan Pak Arya saja. Tapi juga beberapa pasangan yang ingin mengadopsi anak.” Jelas Ibu Jasmine pada Ibu Meri.

Ibu Meri tersenyum menyeringai dan mendelikkan ujung matanya pada si gadis kecil Fania dan berkata dengan oktaf normal untuk yang pertama kalinya pada si rambut bergelombang Fania. “Aku tahu, dan aku akan sangat senang jika anak ini tetap tinggal dan membusuk di rumah ini untuk selamanya.”

Ibu Jasmine segera menarik tubuh mungil Fania ke dalam pelukannya saat Ibu Meri membungkukkan tubuhnya dan berkata dengan kasar pada Fania. “Anda benar-benar tidak punya hati, Ibu Meri.” Ucap Ibu Jasmine sambil menarik Fania menuju kamarnya.

Namun, baru saja beberapa langkah mereka pergi, kedua pintu ruang utama dari arah utara terbuka lebar dan seorang pria dengan mengenakan tuxedo hitam dan dasi merah melangkah mantap ke dalam ruangan sambil tersenyum lebar. “Selamat Siang, Anak-anakku semua!” ucapnya sangat bersemangat sambil membungkukkan tubuhnya agak rendah.

“Hari ini, aku membawa orang-orang yang special untuk kalian semua….” Ucapnya sangat bersemangat sambil menjentikkan jemarinya disambut kedatangan lima pasangan muda yang tampak begitu bahagia melihat anak-anak yang tingginya tak lebih dari pinggang tubuh mereka yang terbilang sangat tinggi itu. Lima pria dewasa itu terlihat tampak begitu tegap dengan potongan rambut cepak yang hampir sama, dan kelima wanita yang mendampingi masing-masing dari pria itu tampak begitu kaku dengan rambut sebahu dan ada pula yang berpotongan rambut pendek bagai seorang lelaki dengan pakaian kantor yang sangat formal.

Sementara itu, Ibu Meri tersenyum puas dan mendelikkan matanya ke arah Fania yang kusut dan kotor dengan pakaian bututnya. Fania nampak sangat sedih karena melupakan rutinitas yang sangat penting yang ada di rumah tua itu.

Setiap enam bulan sekali, Pak Arya selalu datang dengan membawa para pasangan yang mengharapkan kehadiran seorang atau lebih dari satu orang anak di rumahnya. Dan hari tersebut sangat dinantikan oleh setiap anak yang berada di rumah tua itu. Terbebas dari si nenek sihir Meri? Siapa yang tak menginginkan hal tersebut terjadi. Tapi sayangnya, hari yang sangat dinantikan itu malah disia-siakan oleh Fania.

Fania menghela napas panjang dan melihat ke luar jendela yang memanjang dari langit-langit hingga ke lantai di sepanjang dinding ruangan itu. Ia menatap langit siang hari di luar sana, menatap awan yang menggumpal besar yang memanjang hingga ke langit paling tinggi. Ia menatapnya dan kedua kaki kecilnya langsung bergerak berlari menyebrangi ruangan besar itu menuju halaman depan rumah tua itu tanpa mempedulikan keriuhan orang-orang di ruangan tersebut.

Hatinya mungkin sangat kecewa beberapa saat yang lalu, namun saat melihat langit biru itu, gumpalan awan putih seperti kapas itu, sebuah kesenangan menyelundup perlahan ke dalam hati gadis itu. Ia tertawa, menari dan bernyanyi sesuka hati tanpa pedulikan sekitarnya. Tak peduli, ia sama sekali tak peduli jika mungkin apa yang dikatakan Ibu Meri itu benar. Jika mungkin ia harus mendekam membusuk selamanya di rumah besar itu.

Selama ia masih dapat melihat langit biru itu dan mempunyai kebebasan untuk dapat menari seperti apa yang sedang dilakukannya saat itu, ia tak peduli terhadap apa pun yang menyakiti hatinya. Ia tak peduli….

Tanpa ia sadari, seorang pria sedang berdiri bersandar pada sebuah pintu besar berwarna putih, pintu masuk rumah yatim piatu itu. Pria itu tersenyum geli melihat tingkah gadis kecil yang sedang menari di hadapannya. Dan ia sudah tak sanggup menahan tawanya lagi, tawa itu bukan karena mempertawakan kebodohan yang tanpa sengaja dipertunjukkan oleh si gadis kecil. Tapi, lebih kepada rasa bahagia yang entah mengapa tanpa sengaja diperlihatkan dan diperdengarkan dari suara tawanya tersebut.

Fania menoleh ke arah pintu rumah besarnya. Ia melihat seorang pria muda dengan kemeja putih berlengan yang sengaja digulung sampat ke sikunya sedang tertawa dan tampak begitu bahagia. Saat itu, entah apa yang dirasakan dada Fania, tapi itulah pertama kalinya ia merasa ada hal lain yang meraih perhatiannya selain langit, awan, dan buku-buku tua yang disimpannya di sebuah kotak besar melebihi besar perutnya itu.

Siapa dia? Itu merupakan hal pertama yang dipertanyakan Fania untuk si pria muda. Gadis kecil itu terdiam, mengamati si pria muda yang belum juga berhenti tertawa. Ia melihat seorang pria yang belum pernah dilihatnya selama ini.

Dari teman-teman prianya di rumah panti, Fania belum pernah bertemu dengan seorang yang seperti ini. Seorang pria yang sangat menarik perhatiannya. Pria muda itu berusia sekitar dua puluh delapan tahun, ia terlihat begitu tinggi baginya dan… begitu tampan baginya.

“Hei! Kenapa berhenti?” ucap si pria muda itu yang kemudian mendekati tempat Fania berada. “Oh, maaf. Aku sangat tidak sopan karena tertawa di belakangmu tadi, tapi aku tertawa bukan karena menganggap tarianmu konyol. Hanya saja, aku sangat menyukainya hingga tak dapat menahan tawaku. Ng... sebenarnya aku agak sulit untuk menjelaskannya padamu. Tapi, aku senang sekali dapat melihatmu kembali.” Ucapnya sambil menawarkan tangannya pada Fania yang terlihat kebingungan dengan apa yang dikatakan oleh sang pria muda.

Fania menatap mata abunya yang mempesona, kemudian meraih tangannya dan bersalaman. “Aku Rion, aku bekerja untuk Pak Arya. Kau tahu, dia tak bisa mengerjakan apa pun tanpa diriku. Dan dia? Tak mungkin dapat sekaya ini tanpa diriku.” Ucap pria yang bernama Rion itu, berusaha untuk menarik senyuman milik Fania dan dia pun berhasil.

Fania lalu diam kembali, ia belum selesai mengamati Rion, seorang yang sangat menarik baginya. “Hey! Aku belum tahu namamu.” Ucapnya, dan saat itu juga wajah Fania merona merah. Wajahnya terasa begitu panas, dan ia sama sekali tak tahu apa penyebabnya.

“Namaku?” Tanya Fania yang kini terlihat begitu malu dan untuk pertama kalinya ia merasa sangat malu karena pakaian butut yang dikenakannya.

“Ya! Namamu gadis kecil.” Ucap Rion sambil tertawa, dan tawanya terdengar sangat indah bagi Fania. Tapi entah mengapa, ia sangat benci kata-kata Rion yang mengatainya gadis kecil.

“Namaku Fania!” ucap Fania sambil berlari kencang sekali menuju rumah tua. Fania merasa sangat kesal. Entah mengapa, kata-kata Rion yang mengatainya gadis kecil itu sangat menjengkelkan dan membuatnya berlari menuju kamarnya.

Tubuh kecilnya kini tengkurap di tempat tidurnya sambil menatap langit biru di balik jendela kamarnya. Ia menatapnya lama sekali, lalu bergumam, “Aku ingin melihatmu dari sana.” Gumamnya sambil menunjuk ke arah perkotaan yang Ibu Jasmine selalu ceritakan keberadaannya di balik hutan tropis tempatnya berada.

Dan untuk pertama kalinya, Fania ingin sekali pergi dari rumah tua itu. Ia ingin meninggalkan semua yang ada di rumah itu, semuanya…. Ia ingin meninggalkan Ibu Meri, teman-temannya, bahkan jika harus, ia rela meninggalkan Ibu Jasmine yang baik hati itu.

Kedatangan pria muda bernama Rion itu membuat dirinya ingin meninggalkan hutan tropis itu dan bertemu kembali dengan Rion di luar sana, di dunia yang jauh dari rumah tua itu. Fania gadis kecil yang lugu, ia mungkin tak tahu apa yang ada dan akan terjadi di dunia luar itu. Ia belum tahu, hal yang lebih mengerikan daripada Ibu Meri atau mungkin hal yang lebih menjengkelkan daripada teman-temannya.

***

No comments:

Post a Comment